Kamis, 27 November 2008

Tuhan tak pernah memandang muka


Tuhan tak pernah memandang muka

Janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka (Yakobus 2:1b)

Saat orang pertama kali mendengar namaku, acapkali mereka berasumsi bahwa aku adalah seorang asing dari negeri seberang akibat namaku yang kebarat-baratan. Namun lalu mereka jadi kecewa sebab ternyata aku adalah seorang anak Indonesia keturunan Eropa bukan orang Eropa sesungguhnya. Terlebih saat mereka tahu aku hanyalah seorang pelayan Tuhan bagi kaum miskin dan orang terbuang. Wah, orang yang tadinya begitu semangat menerima kami untuk beberapa saat, tiba-tiba mengundurkan diri dan pura-pura tidak mengenal kami. Mungkin mereka kecewa sebab kami bukan orang Eropa, yang diidentikan dengan pelayan Tuhan dengan “dompet tebal” atau kecewa sebab ternyata kami tidak memiliki pelayanan besar dengan fasilitas lengkap. Kami hanyalah keluarga hamba Tuhan yang hendak melakukan kehendak Bapa bagi generasi kami.
Dulu mungkin kami akan sangat kecewa dengan perlakuan mereka yang menyebut diri “saudara seiman” atau “rekan di ladang Tuhan”. Namun kini kami tidak mau terlalu fokus pada pandangan manusia. Pandangan manusia dapat mengecewakan, sebab acap kali manusia memandang muka. Puji Tuhan, Ia bukan hanya memandang muka tetapi Ia memandang dan menyelidiki hati manusia.
Bagaimana dengan anda? Anda pernah mengalami peristiwa dimana anda dikecewakan, dipandang sebelah mata, dihina, dll? Anda tidak sendirian, kami pernah mengalaminya dan juga masih banyak orang di luar sana yang melaluinya.
Pertama, mengucap syukurlah sebab meskipun orang menghina anda, di mata Tuhan anda tetap berharga dan merupakan biji mataNya. Penilaian manusia acapkali salah, tetapi penilaian Tuhan terhadap diri anda tidak mungkin salah.
Kedua, Tuhan ingin kita belajar agar kita pun menghargai sesama manusia sebagaimana diri kita sendiri. Bila kita telah merasa terhina, maka kita tahu betapa menyakitkan diperlakukan seperti itu. Tuhan mengajarkan agar kita membalas kejahatan dengan kebaikan, lebih lagi Ia mengajarkan untuk melakukan terhadap orang lain apa yang kita inginkan orang lain perbuat bagi kita.
Ini semua proses agar kita makin matang dan dewasa dalam Dia. Mengucap syukur atas segala proses kehidupan ini.

Doa: Tuhan, kami memberkati setiap orang yang pernah merendahkan kami. Terimakasih atas tiap proses dalam kehidupan kami ini. Amien.

FT: Yakobus 2:1-13

Kamis, 13 November 2008

APA ITU GEREJA ???


1.APA ITU GEREJA ???


Saat kita pertama kali mendengar kata gereja, apakah yang langsung terlintas dalam benak kita? Sebuah gedung dengan menara tinggi dengan lambang salib di puncaknya? Sebuah tempat yang suci? Sebuah gedung dengan menerakan nama sebuah organisasi gereja dengan jadwal ibadah selama seminggu? Atau bayangan kita gereja adalah serial pertemuan atau kegiatan rohani di sebuah tempat dan dihadiri oleh semua orang yang mengaku dirinya Kristen. Di mana kita semua duduk seperti di gedung bioskop menghadap ke arah mimbar. Dengan agenda, menyanyi bersama, mendengarkan khotbah, didoakan dan tentunya memberikan kolekte. Dan secara rutin kita wajib mengikuti ibadah gereja model ini. Apakah hanya itu yang disebut “gereja”??
Pantas saja lama kelamaan orang Kristen kekeringan secara rohani, kehilangan gairah dan selalu mencari “tempat baru” agar “disegarkan”. Tidak bisa dipungkiri banyak sekali anggota sebuah gereja yang sering “bertamu” ke gereja lain untuk “refreshing” sebab jenuh dengan aktivitas gereja lokalnya. Bahkan ada yang terdaftar sebagai anggota jemaat di beberapa gereja. Jemaat Tuhan mencari penyegaran ke gereja lain atau persekutuan doa mengikuti berbagai KKR dan seminar rohani. Dipuaskan untuk beberapa saat lalu kembali mencari “penyegaran” lainnya. Pantas saja dahulu orang komunis mengatakan bahwa agama itu seperti candu, membuat orang ketagihan mencari ke sana kemari. Pendeta atau gembala sidang pun harus melakukan banyak kreativitas dan inovasi baru di dalam program-program gereja yang ada untuk mempertahankan anggotanya bila tidak mau pindah ke tempat lain. Kadang Pendeta yang kurang berpamor dan terampil dalam berkhotbah akan memanggil “pendeta selebritis” alias pendeta ternama dan meminta artis beragama Kristen untuk bersaksi semata untuk menarik atau mempertahankan jemaat. Entah jemaat maupun pendeta menjadi stressfull. Padahal Tuhan Yesus mengatakan barangsiapa mengiring Dia maka Ia akan memberi kuk yang enak dan beban dari Nya ringan (Matius 12:30). Apakah saya “asbun” (asal bunyi)? Tidak saudaraku saya seorang pendeta dan pernah menggembalakan sebuah sidang jemaat selama 9 tahun, saya tahu bagaimana rasanya merintis dan mengembangkan sebuah sidang jemaat. Total 17 tahun saya mengiring Tuhan dan melayani pekerjaanNya dalam berbagai bidang selain pastoral, saya pernah terlibat pelayanan pemuda, pemuridan dan missi. Saya sendiri letih “main gereja-gerejaan” (I’m tired playing church), karena saya merindukan gereja Tuhan yang penuh kuasa dinyatakan di tengah kita.
 
Apakah Gereja itu?
Mat. 16:18,....JemaatKu.  " Ekkaleo"
Kata Ekkaleo yang merupakan akar kata dari Ekklesia yang punya pengertian "dipanggil keluar", merupakan istilah yang menunjuk kepada sebuah kelompok masyarakat yang dipanggil keluar, dan dipilih untuk berdiri di pintu gerbang untuk membuat/mengambil keputusan yang mempengaruhi sebuah kota.
Jadi gereja bukanlah gedung atau denominasi tetapi kumpulan orang-orang yang dipanggil keluar untuk melakukan keputusan Allah terhadap suatu daerah tertentu (dunia). (Jonathan Pattiasina.)

Saat kita terjebak dalam sistem keagamaan

Bagaimana kita dapat menghidupi kehidupan bergereja model sekarang ini? Apakah ini model gereja yang ada dalam Alkitab? Bila kita membaca jemaat mula-mula, mereka begitu bergairah mengiring dan melayani Tuhan padahal mereka tidak punya apa-apa seperti kita di zaman modern ini. Pernahkah anda mempertanyakan hal tersebut atau anda sudah puas dengan keadaan yang sekarang? Kalau kita mau belajar sejarah gereja, ternyata gereja sudah terjebak dalam sistem keagamaan selama 16 abad. My God ! Dan sampai detik ini pun masih banyak yang belum sadar akan hal ini. Mengapa kita sering bosan ke gereja bahkan bila pun pergi ibadah itu pun “terpaksa” sebab bila tidak pergi ada perasaan bersalah atau terintimidasi sebagai orang Kristen. My friend, christianity is not a religion but a relation. Ungkapan ini berarti kekristenan bukanlah agama tetapi hubungan. Mari kita lihat apakah definisi dari agama, agama adalah upaya manusia melakukan berbagai hukum ilahi agar dapat mendekat pada Sang Pencipta. Sedangkan kekristenan berbeda dengan agama sebab kekristenan merupakan prakarsa Tuhan yang membuka jalan dengan menebus manusia agar dapat datang padaNya. Ya, hingga kita memiliki hubungan dengan Yesus Kristus sebagai Tuhan kita. Bahkan hal ini sering didengungkan juga di dalam khotbah-khotbah namun pada kenyataan prakteknya tetap menggunakan pola yang lama. Kenaturalan dalam gereja lenyap dan digantikan dengan kekakuan sistem agama yang mematikan. Tuhan Yesus datang ke dunia agar kita memiliki relation (hubungan) dan kalau kita tilik Tuhan Yesus tidak pernah membawa “agama” ke muka bumi.
Gereja bukanlah sebuah aktivitas belaka. Saya kadang trenyuh bila mengingat dulu pernah menyamakan gereja dengan aktivitas lainnya seperti,”Saya pergi ke pasar....saya pergi ke sekolah....saya pergi ke bioskop....saya pergi pacaran....saya pergi ke gereja.” No wonder, tidak mengherankan saat orang berada di dalam gedung gereja, semua nampak alim tetapi saat keluar gedung gereja maka nampaklah warna aslinya. Di dalam gedung gereja semua mengatakan Puji Tuhan, Haleluya, Glori, Shalom, dan kata-kata “kudus” lainnya. Namun di luar kembali lagi dirty jokes (candaan kotor) keluar dari bibir lidahnya, kata-kata kebun binatang berkumandang, dan seterusnya. Saya dulu seperti itu, keluar dari gedung gereja lupa dengan apa yang dikhotbahkan oleh pendeta dari atas mimbar. Kalau ditanya khotbahnya apa, saya harus membuka catatan terlebih dulu, dan lalu menjabarkan apa isi khotbahnya. Bayangkan kalau saya tidak mencatat, apa kata dunia? Pasti saya lupa isi khotbahnya. Yang pasti saya ingat adalah ilustrasi yang lucu atau cerita yang menyentuh selebihnya harus lihat buku catatan khotbah. Jangankan merenungkan Firman Tuhan yang dikhotbahkan sepanjang minggu, baru keluar dari ibadah sudah banyak yang lupa. Saya pernah mengalami hal itu, bagaimana dengan anda?
Apakah Tuhan hanya tinggal “di dalam gedung gereja”, hingga setelah keluar dari “rumahNya” kita bisa bersikap “semau gue”? Saya dulu pernah bekerja untuk sebuah badan kesehatan dunia, dan bila ada kunjungan ke daerah, kami harus bersikap hormat pada petinggi setempat seperti Gubernur, Walikota atau para Bupati. Kami pasti tidak akan bersikap sembarangan di hadapan beliau apalagi bertingkah semaunya. Namun ketika beliau sudah tidak ada, kami kembali kepada kebiasaan semula, berkelakar dan berbincang-bincang santai. Apakah sikap itu juga yang terjadi pada diri orang Kristen? Di gereja atau “rumah Tuhan”, kita bersikap sangat hormat pada Tuhan, Sang Raja. Namun saat keluar dari ibadah kembali pada habitat, kita mulai balik dalam hidup penuh dosa?
Atau mungkin anda seperti saya dulu yang sangat menyukai film horror, dalam film dracula biasanya orang yang dikejar-kejar dan hendak dihisap darahnya akan pergi ke gereja mengambil air suci, salib dan barang-barang yang telah disucikan untuk membunuh dracula. Draculanya pun tidak berani masuk gedung gereja karena dikisahkan gereja adalah tempat suci. Hingga sempat dulu saya memiliki persepsi, gedung gereja itu tempat yang suci atau sakral, tidak boleh bertingkah aneh-aneh di dalam. Pokoknya selama di dalam beberapa jam harus bersikap manis dan memasang wajah malaikat tanpa dosa. Tetapi kalau sudah di halaman gedung gereja lain ceritanya, boleh melakukan apa saja, boleh merokok lagi , menggoda lawan jenis atau bercanda yang kasar. Mengapa? Sebab saat itu yang ada dalam pikiran kami,” Tuhan khan ada di dalam gedung gereja.” Bodoh sekali bukan, tetapi itulah kenyataan terjadi.
Tidak sadarkah anda bahwa Ia adalah Immanuel? Allah menyertai/beserta kita (Matius 1:23). Artinya setelah anda lahir baru, Tuhan akan ada senantiasa bersama dengan anda dimanapun anda berada, dalam setiap aktivitas apapun.
Sebenarnya yang menjadi pertanyaan, bukanlah apa itu gereja? Tetapi siapakah gereja itu sebenarnya? Maksud lho????
Apakah gereja itu sebuah tempat atau gedung? Jawabannya jelas “tidak”!!!!! Firman Tuhan di dalam Kisah Para Rasul 7:48-50 dengan jelas menyatakan,”Yang Maha Tinggi tidak diam di dalam apa yang dibuat oleh tangan manusia, seperti yang dikatakan nabi: Langit adalah tahtaKU, dan bumi adalah tumpuan kakiKU, Rumah apakah yang akan kamu dirikan bagiKU, demikianlah firman Tuhan, tempat apakah yang akan menjadi perhentianKU? Bukankah tanganKU sendiri yang membuat semuanya ini?”
Tabernakel atau Kemah Suci adalah ide Tuhan, kemah ini dapat dipindah kemana saja dan kapan saja saat bangsa Israel menuju tanah perjanjian. Tabernakel sangatlah fleksibel. (Kis 7:44-45) Namun yang memiliki ide mendirikan bait Allah adalah Daud bukan Tuhan, ia memohon dan diperkenankan oleh Tuhan. Itupun lalu Salomo yang mendapat mandat untuk membangunnya (kis 7:46-47)

Kita sebagai gereja Tuhan

Firman Tuhan mengatakan,”Tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar; Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!”(1 Korintus 6:19-20).
Siapakah gereja Tuhan sebenarnya? Ya, kita, umat Tuhan adalah gerejaNYA. Gereja tidak pernah berbicara mengenai gedung atau tempat apalagi organisasi. Kita sering mendengar pernyataan bahwa di akhir zaman, Tuhan akan mengangkat gerejaNYA. Kalau benar Tuhan mengangkat gerejaNYA, kira-kira apakah atau siapakah yang akan Ia angkat? Gedung-gedung? AD/ART Organisasi gereja yang sudah disahkan dan diakui pemerintah? Atau KITA? Church, please, grow up!!!! (Gereja, tolong, bertumbuhlah!!!)
Please deh, Tuhan tidak memerlukan gedung gereja kita apalagi AD/ART organisasi yang tidak sempurna di mataNYA. Tuhan Yesus mati di atas kayu salib untuk KITA.
Gereja seharusnya bersifat organisme, memiliki kenaturalan untuk bertumbuh sebagaimana ciptaan Tuhan lainnya. Tuhan yang menciptakan gereja dan bukan manusia, oleh sebab itu gereja seharusnya merupakan organisme yang hidup dan memiliki kesanggupan untuk mengorganisir hidupnya sendiri. Gereja bukanlah robot atau komputer buatan tangan manusia, yang harus diprogram terlebih dahulu.
Gereja seharusnya ada dimana saja, ada pergerakan yang menamakan diri mereka the emerging church (gereja yang bermunculan dimana-mana). Gereja atau kita seharusnya menjadi terang dan garam, dan “membawa gereja pada orang-orang di luar sana”. Gereja masa kini mati-matian menarik orang masuk ke dalam “gereja”. Kalau orang tidak mau masuk ke dalam, mengapa anda tidak membawa gereja keluar? Bukankah anda sebenarnya adalah gereja itu sendiri? Anda ingat iklan di TV tentang minuman segar beraroma Jeruk? Kok, Jeruk minum jeruk? Gereja, kok pergi ke gereja sih? Kita adalah terang dunia (Matius 5:14), namun mengapa di dalam persekutuan orang percaya, sering terjadi pertengkaran dan berujung pada perpecahan?
Mungkin itu diakibatkan “terang” terlalu sering bertemu “terang”, tegangan tinggi semua dan lalu terjadi korsleting, kebakaran akibat arus pendek. Terang harus bersinar di tempat gelap. Mengapa orang Kristen satu dengan yang lain sering menyerang dan menjelekkan? Padahal kita ini garam dunia? Yah, kalau garam kebanyakan berkumpul sendiri sepertinya banyak yang darah tinggi. Semua berdebat untuk hal yang kurang penting dan melupakan amanat agung Tuhan Yesus untuk memuridkan bangsa-bangsa. Sebab itu pergilah keluar untuk mewartakan kebenaran dan bercerita tentang kebaikan Tuhan pada dunia yang hambar akibat dosa. Itu jauh lebih baik daripada kita berkumpul dan membicarakan dosa atau kekurangan saudara seiman lainnya. Saat kita berfungsi menjadi terang dan garam dunia, maka kita akan melihat banyak jiwa dimenangkan bagi Tuhan. Bila kita menyadari bahwa tubuh kita adalah bait Roh Allah atau “gereja”NYA maka kita seharusnya menjaga perkataan kita setiap waktu dan menjadi teladan yang hidup bagi dunia. Saat kita berkumpul kita saling menceritakan apa yang telah Tuhan perbuat melalui kita (tanpa membesar-besarkan diri kita, jangan sampai jatuh dalam kesombongan), atau saling mendoakan agar pelayanan kita bersama bisa lebih berdampak bagi komunitas dimana kita tinggal. Selama umat Tuhan fokus memandang pada Tuhan atau pada kekekalan, kita tidak akan sikut-sikutan satu dengan yang lain. Namun kalau kita sudah saling memandang dan menghakimi satu dengan yang lain maka dapat dipastikan kita bukan bekerja sebagai agen perubahan untuk pelebaran Kerajaan Tuhan tetapi menjadi agen perpecahan tubuh Kristus. Inilah yang dikehendaki Iblis agar kita saling menghancurkan dan melupakan rencana Tuhan dalam hidup kita sebagai gerejaNYA.
Mengapa jemaat mula-mula di Anthiokia disebut orang Kristen? Sebab mereka mengikuti teladan hidup Tuhan Yesus. Bukan karena mereka kemana-mana bawa Alkitab( dulu mereka bahkan belum punya Alkitab), mereka juga tidak mengenakan kalung salib (dulu belum ada toko cindera mata “strawberi” yang jual kalung salib, yang merupakan lambang kutuk/kematian), apalagi karena t-shirt “rohani Kristen” bertuliskan Jesus The Only Way To Heaven, atau karena mereka memamerkan KTP agama Kristen sebesar billboard iklan. Bukan sama sekali!!!! Mereka disebut Kristen karena memiliki teladan hidup yang berbeda. Ingat Kristen, artinya pengikut Kristus, berarti seseorang yang menjadikan Tuhan Yesus model atau teladan hidupnya. Kalau kita telaah lebih jauh mengapa mereka disebut Kristen, sebenarnya kata-kata itu merupakan ejekan dari penduduk Anthiokia karena gaya hidup mereka berbeda dengan orang yang hidup pada masa itu. Kita pun hidup di masa yang krusial, apakah remaja kita masih tetap mempertahankan gaya berhubungan muda-mudi yang benar atau sudah juga terlibat dalam free sex, pornografi, narkoba, dll. Bagaimana para pasangan suami istri, tetap setia pada janji pernikahan? Bagaimana kita orang Kristen masih memiliki belas kasihan dan kepedulian pada lingkungan sekitar atau terkenal sombong dan enggan bergaul dengan lingkungan sekitar? Apakah anda dikenali sebagai orang Kristen karena teladan hidup anda? Mudah-mudahan begitu. Saya ingat dulu saat belum bertobat, kalau ada orang bertanya agamamu apa? Saya jawab,”Kristen.” Lalu ia bertanya lagi,” Kristen apa, Katholik atau Protestan?” Dan sebelum saya sempat menjawab, teman-teman geng saya menjawab duluan,”Prosetan” (jawaban plesetan dari teman-teman saya, sebab kelakuan saya memang seperti setan sebelum kenal Tuhan Yesus secara pribadi). Orang di sekitar kita bisa mengetahui siapakah tuhan yang menguasai diri kita, entah itu Tuhan Yesus, atau setan atau bahkan diri sendiri. Jemaat mula-mula disebut Kristen karena gaya hidup mereka yang mirip Kristus, sudahkah kita hidup seperti Kristus setiap hari?
Gereja seharusnya bersifat liquid atau cair, ia tidak dapat dibatasi oleh apapun atau siapapun. Kita lihat di bawah penganiayan rezim komunis umat Tuhan tetap bertumbuh di Cina, Rusia, Vietnam dan lain-lain. Begitu juga di negara-negara seperti Iran, Libia dll ada saja orang percaya baru dan komunitas baru. Meski aniaya menghadang gereja Tuhan tetap bertumbuh di sana sini, dengan atau tanpa gedung gereja. Mengapa jadi stress saat kita dilarang atau dipersulit izin mendirikan gedung gereja? Apakah esensinya gereja? Untuk apa gereja ada di muka bumi ini?
Esensi gereja adalah mengalami Kristus, hubungan yang kuat antara kita dengan Tuhan dan saudara seiman, dan menjadi terang & garam dunia. Gereja itu ada sebab Tuhan kita adalah Allah yang memiliki tujuan. Tujuan gereja tertuang dalam 3 dimensi kasih; Kasihilah Tuhan Allahmu (Mat 22:37), kasihilah sesama manusia seperti dirimu sendiri (Mat 22:39) dan hendaklah kamu saling mengasihi (Yoh 13:34)
Jadi bertemu dimana saja bukanlah masalah dan menjadi alasan kita tak dapat beribadah. Gereja dapat bertemu dimana saja, di rumah, taman, cafe, sekolah, kantor, dan tempat lainnya. Kami bahkan pernah beribadah di tempat parkir sebuah mall bersama anak-anak jalanan dan melakukan pemuridan di cafe lesehan pinggir jalan. Esensi gereja dimana dua tiga orang berkumpul dalam namaKU, AKU hadir di tengah-tengah mereka. (Matius 18:20) Tuhan hadir di tengah kita bukan karena tempat tetapi kesepekatan kita bersama dalam iman untuk meninggikan Dia, menjadikan IA, TUHAN atas seluruh kehidupan kita. Tuhan hadir bukan karena tempat tetapi karena hati yang haus dan lapar akan Dia. Tuhan hadir karena ada orang-orang yang ingin mengalami God encounter (perjumpaan dengan Allah).
Gereja seharusnya memiliki fleksibilitas yang tinggi. Tuhan Yesus mengatakan dalam Matius 11: 29-30,”Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah padaKU, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan bebanKUpun ringan.”
Ketika gereja berkumpul atau orang percaya berkumpul maka mereka akan saling belajar bersama untuk bertumbuh bersama dalam pengenalan akan Tuhan. Ada waktunya kita belajar dari seseorang yang akan memperlengkapi kita, pelayan Tuhan yang berasal dari lima jawatan. Namun ada kalanya pula kita belajar bersama-sama dengan berdiskusi Firman Tuhan dan bagaimana cara pengaplikasiannya dalam hidup sehari-hari.( 1 Kor 14:1-40, Ef 4:11-16). Ibadah bersama seharusnya bukan menjadi beban berat segelintir orang tetapi beban bersama hingga ibadah menjadi ringan tanpa beban. Mendatangkan kesukaan bersama dan bukan akibat tugas rutin.
Dulu saya sangat terfokus dengan gedung gereja, saya dulu berpikir perbedaan antara gereja dan persekutuan doa adalah tempatnya. Gereja adalah tempat ibadah khusus dimana Tuhan hadir di sana sepanjang waktu seperti di tabernakel. Siapa yang mau lebih bertumbuh dan dekat Tuhan harus ke gedung gereja dimana Tuhan hadir. Sedang ibadah di rumah atau tempat umum itu namanya persekutuan doa, sebab settingnya tidak seperti ibadah umum di gedung gereja. Malah terkadang duduk menggunakan tikar di lantai rumah dan memuji Tuhan menggunakan gitar akustik, tidak full band seperti di gedung gereja. Selain itu pemimpin di gereja itu pasti pendeta yang sudah ditahbiskan oleh sebuah sinode atau organisasi gereja, sedang persekutuan doa boleh atau biasanya dipimpin oleh “kaum awam”. Gereja berorganisasi sah di mata hukum dan pemerintah, sedang keberadaan persekutuan doa tidak sah dan tidak ada legalitasnya.
Saya juga teringat bila ada acara sarapan pagi bersama para pendeta di kota Surabaya yang diadakan oleh sebuah badan musyawaah antar gereja, dalam tiap perkenalan kami biasa saling menanyakan gembala/pendeta gereja mana, gerejanya dimana ( bangunan sendiri atau masih mengontrak), dan jumlah anggotanya berapa. Ini merupakan tiga pertanyaan klasik. Jadi saya menyimpulkan masih banyak pendeta sendiri yang mengidentikkan gereja dengan gedung tempat ibadah atau oerganisasi.
Dalam Matius 24:1-2, Tuhan Yesus menyatakan sebuah nubuat mengenai bait Allah di Yerusalem sebagai berikut,”Sesudah itu Yesus keluar dari Bait Allah, lalu pergi. Maka datanglah murid-muridNya dan menunjuk kepada bangunan-bangunan Bait Allah. Ia berkata pada mereka:”Kamu melihat semuanya itu? Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak satu batupun disini akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain, semuanya akan diruntuhkan.” Dalam catatan sejarah tentara Romawi menyerang Israel dan menghancurkan Bait Allah sampai ke dasarnya. Apakah memiliki gedung gereja mewah salah? Tidak ada yang salah dengan bangunan megah. Namun akan menjadi salah bila gedung gereja menjadi tugu kebanggaan kesuksesan kita atau berhala. Celakalah kita bila kita lebih perduli pada bangunan gereja daripada jiwa-jiwa yang Tuhan percayakan pada kita untuk digembalakan dan dimuridkan. Kita seharusnya memperlengkapi setiap orang percaya untuk terlibat pro aktif di dalam pembangunan tubuh Kristus dan pelebaran Kerajaan Tuhan. Sebab itulah yang tertuang dalam surat rasul Paulus pada jemaat di Efesus,” Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus.” (Efesus 4:11-12).
Jangan sampai ukuran kesuksesan yang kita gunakan adalah besarnya gedung gereja yang kita miliki, jumlah anggota gereja, persembahan dan perpuluhan yang kita kumpulkan, sudahkah kita memiliki stasiun radio atau siaran TV, sudahkah kita memiliki Sekolah Theologia sendiri atau sekolah umum taraf internasional atau bukit doa mewah. Tidak ada yang salah dengan memiliki itu semua tetapi itu bukanlah ukuran kesuksesan dari Tuhan.
Kesuksesan kita adalah saat kita memiliki suksesi, atau penerus kita yaitu para murid Kristus. Bukankah ini yang diamanatkan oleh Tuhan Yesus pada kita? “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKU dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.(Matius 28:19-20)

Fungsi keimamatan yang dikembalikan pada setiap orang percaya

Saat Yesus mati di atas kayu salib, ada sesuatu yang terjadi di dalam bait Allah. “Dan lihatlah, tabir Bait Suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah dan terjadilah gempa bumi, dan bukit-bukit batu terbelah.” (Matius 27:51). Kematian Yesus membuka jalan bagi kita semua untuk datang padaNya secara pribadi tanpa harus “diwakili” oleh imam lagi. Dalam kitab Ibrani dikatakan,”Jadi, saudara-saudara, oleh darah Yesus kita sekarang penuh keberanian dapat masuk ke dalam tempat kudus, karena Ia telah membuka jalan yang baru dan hidup bagi kita melalui tabir, yaitu diriNya sendiri.”(Ibrani 10:19)
Setiap kita kini sudah dilayakkan untuk menghadap Tuhan tanpa perantaraan kaum imam lagi sebab Tuhan Yesus adalah Imam Besar kita (Ibrani 10:20).
Lebih lanjut Rasul Petrus menyatakan,”Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani yang karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah. Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terangNya yang ajaib: kamu, yang dahulu bukan umat Allah, tetapi sekarang telah menjadi umatNya, yang dahulu tidak dikasihani tetapi yang sekarang telah berolah kasih kasihan.” (1 Petrus 2:5,9-10)
Tuhan ingin membangun gerejaNYA, bukan gedung gereja tetapi kita sebagai umat Tuhan sebagai “gerejaNya yang hidup”, setiap orang percaya harus memiliki kualitas hidup “imam”(pendeta) dan raja yang memiliki & mengerti otoritasnya dalam Firman Tuhan. Bagaimana orang belum percaya dapat datang pada Tuhan bila kualitas hidup kita juga rendah? Kita seharusnya menjadi terang dan garam dunia. Ini bukan hanya tugas segelintir orang yang berjabatan “pendeta” saja, itu merupakan tanggungjawab semua orang percaya. Ini merupakan rancangan asli Tuhan bagi kita sejak penciptaan. Tuhan tidak tertarik pada organisasi gereja kita, ia jauh lebih tertarik pada gereja sebagai organisme yang hidup. Organisasi gereja dapat menjadi kaku dan sulit berubah, namun organisme memiliki kemampuan untuk mengorganisir dirinya secara natural.
Ketika bangsa Israel keluar dari Mesir di bawah kepemimpinan Musa, mereka ketakutan untuk menghadap Tuhan setelah 10 Perintah Tuhan dibacakan. Mereka telah menyaksikan kedasyatan Tuhan saat menampakkan diri di Gunung Sinai. “Seluruh bangsa itu menyaksikan guruh mengguntur, kilat sabung-menyabung, sangkakala berbunyi dan gunung berasap. Maka bangsa itu takut dan gemetar dan mereka berdiri jauh-jauh. Mereka berkata kepada Musa:”Engkaulah yang berbicara dengan kami, maka kami akan mendengarkan; tetapi janganlah Allah berbicara dengan kami, nanti kami mati.” Tetapi Musa berkata kepada bangsa itu:”Janganlah takut, sebab Allah telah datang dengan maksud untuk mencoba kamu dan dengan maksud supaya takut akan Dia ada padamu, agar kamu jangan berbuat dosa.” Adapun bangsa itu berdiri jauh-jauh, tetapi Musa pergi mendekati embun yang kelam di mana Allah ada.” (Keluaran 20:18-21)
Sejak saat itulah suku Lewi menjadi golongan imam yang menjadi perantara antara Tuhan dan umatNya. Padahal sebelum itu Tuhan telah berfirman dalam Keluaran 19: 6, Kamu akan menjadi bagiKU kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel.
Tuhan ingin menjadi Raja atas hidup umatNya, sebab Ia adalah Raja di atas segala raja. Namun sekali lagi kita melihat bagaimana bangsa Israel meminta raja bagi mereka sebab mereka “melihat” bangsa-bangsa yang ada di sekeliling mereka dan juga saat itu para tua-tua Israel kecewa dengan anak-anak Samuel yang hidup di bawah standar kebenaran. (1 Samuel 8:1-22)
Kita dapat melihat bila apa yang kita minta dikabulkan, hal itu belum tentu rencanaNya yang sempurna. Jawaban itu lebih karena Tuhan melihat kita sebagai “anak” yang masih bertumbuh dan terkadang harus belajar melalui “jalan yang berbatu dan berkerikil tajam” agar dapat bertumbuh dewasa. Dapat dikatakan Tuhan izinkan hal tersebut sebagai suatu proses pembelajaran.

Gereja seperti apa yang mengguncang dunia?

Kita harus menyadari bahwa sesuatu terjadi ketika ada atau dengan timbulnya suatu pergerakan yang dilakukan oleh Allah melalui seseorang atau sekelompok orang. Karya Tuhan melalui orang-orang Martin Luther, John Calvin, John & Charles Wesley, John Whitefield, Zinzendorf, Charles Spurgeon, dan seterusnya sampai kini merupakan kisah-kisah yang luar biasa. Namun ketika yang mendapatkan pewahyuan meninggal, movement become monument. Pergerakan itu menjadi suatu monumen, dimana pengikutnya membangun “arca-arca” penyembahan tanpa disadari. Menyatakan yang lain sesat bila tidak sama dengan mereka, pengajaran “pahlawan” mereka jadi lebih sakral dari Firman Tuhan itu sendiri. Kita harus belajar dari masa lalu namun tidak boleh tinggal di masa lampau. Mengikuti model pakaian “jadul’ (zaman dulu) tidak berdosa namun jangan sampai kita tidak mau bergerak bersama Tuhan karena kekerasan hati kita, sebab itu berdosa.
Gereja atau umat Tuhan harus sadar, bahwa Tuhan menghendaki kita tunduk pada otoritasNya (His Kingship). Kita harus sadar bahwa Tuhan bermukim dalam diri kita melalui Roh KudusNya, Ia menghendaki hidup kita memancarkan kemuliaan dan pribadiNya bagi orang-orang belum percaya.
Kita harus berhenti menghidupi “agama”(religion), dan mulai memiliki “keintiman”(relation) dengan Tuhan. Agama membuat orang menjadi fanatik tetapi hubungan membuat orang berubah seperti Tuhannya. Ada pepatah,”kita dapat mengetahui seperti apa seseorang melalui teman-teman sepergaulannya”. Dengan siapa kita bergaul? Apakah kita sudah bergaul dengan Tuhan? Pribadi Allah akan nyata dalam kita saat memiliki keintiman denganNya. Kasih dan belas kasihan (love and compassion) akan memenuhi diri kita saat melihat saudara seiman maupun mereka yang belum dekat dengan Tuhan. Kebalikan dari kefanatikan pada agama yang menekankan pada kepatuhan seratus persen terhadap hukum, membuat banyak orang sombong rohani dan merasa diri paling benar dari yang lain. Kacamata penghakiman melekat pada pandangan orang taat beragama.
Kita harus hidup dalam kebenaran Firman Tuhan dalam dimensi kasih yang lahir dari hubungan intim dengan Tuhan.
Di manakah “holy ground”? Di Israel? Di Vatikan? Di Mekah? Di Tibet? Bila kita membaca Keluaran 3:1-6,” Adapun Musa, ia biasa menggembalakan kambing domba Yitro, mertuanya, imam di Midian. Sekali, ketika ia menggiring kambing domba itu ke seberang padang gurun, sampailah ia ke gunung Allah, yakni gunung Horeb.Lalu Malaikat TUHAN menampakkan diri kepadanya di dalam nyala api yang keluar dari semak duri. Lalu ia melihat, dan tampaklah: semak duri itu menyala, tetapi tidak dimakan api. Musa berkata: “Baiklah aku menyimpang ke sana untuk memeriksa penglihatan yang hebat itu. Mengapakah tidak terbakar semak duri itu?” Ketika dilihat TUHAN, bahwa Musa menyimpang untuk memeriksanya, berserulah Allah dari tengah-tengah semak duri itu kepadanya: “Musa, Musa!” dan ia menjawab: “Ya, Allah.” Lalu Ia berfirman: “Janganlah datang dekat-dekat: tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus.” Lagi Ia berfirman: “Akulah Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub.” Lalu Musa menutupi mukanya, sebab ia takut memandang Allah.
Pada bagian lain, saat Tuhan Yesus mengajak ketiga muridNya, Petrus, Yohanes dan Yakobus naik ke atas sebuah gunung kembali di sana kita melihat sesuatu yang terjadi. Kita baca dalam Markus 9:2-7,” Enam hari kemudian Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes dan bersama-sama dengan mereka Ia naik ke sebuah gunung yang tinggi. Di situ mereka sendirian saja. Lalu Yesus berubah rupa di depan mata mereka, dan pakaian-Nya sangat putih berkilat-kilat. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat mengelantang pakaian seperti itu. Maka nampaklah kepada mereka Elia bersama dengan Musa, keduanya sedang berbicara dengan Yesus. Kata Petrus kepada Yesus: “Rabi, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.” Ia berkata demikian, sebab tidak tahu apa yang harus dikatakannya, karena mereka sangat ketakutan. Maka datanglah awan menaungi mereka dan dari dalam awan itu terdengar suara: “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia.”
Dari kisah Musa, kita menyadari sebuah tempat menjadi kudus karena “Allah hadir disitu”, tanpa kehadiran Tuhan tempat itu biasa saja hanya gurun tempat menggembalakan kambing domba. Sedang dari kisah murid-murid Tuhan Yesus sekali lagi kita dapat belajar bahwa Tuhan tidak suka mendirikan monumen seperti kita manusia di atas gunung tersebut. Yang Tuhan kehendaki adalah kita menyadari kehadiranNya dalam diri kita sebagai baitNya yang telah ditebus melalui kematian Kristus di atas kayu salib dan ketaatan kita terhadapNya. Sebuah tempat menjadi kudus karena ada orang-orang kudus yang berkumpul. Tuhan datang bagi umatNya, dan bukan karena sebuah “rumah suci”. Tuhan mati di atas kayu salib sebagai korban yang sempurna agar kita dapat berhubungan lagi dengan Dia tanpa perantara. Tuhan merindukan hubungan dan ketaatan kita di atas korban atau apapun yang kita buat baginya. Bukankah Tuhan Yesus mengajarkan “Sebab dimana dua tiga orang berkumpul dalam namaKU, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.”(Matius 18:20). Gedung gereja menjadi kudus saat Tuhan hadir di tengah umatNya, rumah tinggal kita menjadi tempat kudus saat kita umat Tuhan sadar bahwa Tuhanlah Raja atas keluarga kita, tempat bekerja kita menjadi kudus oleh karena ada anak-anak Tuhan di dalamnya. Dimana kita berada karena Tuhan ada dalam kita tempat itu menjadi tempat yang kudus alias the holy ground. Tuhan bertahta dalam hati kita dan seharusnya hadirat Allah pun dapat dirasakan oleh orang-orang yang berada di sekitar kita.
Anda pernah mendengar kisah The Midas touch? Kisah Raja Midas yang serakah dan meminta kuasa pada Tuhan agar apapun yang ia sentuh menjadi emas sebab ia ingin menjadi kaya raya? Dalam kisah itu diceritakan pertama Raja Midas gembira sebab saat ia menyentuh benda-benda di sekelilingnya menjadi emas, ia sentuh kursi kayu berubah jadi kursi emas...meja kayu..ia sentuh..jadi meja emas..wow gembira hatinya. Namun saat ia hendak makan, setiap kali sepotong ayam bakar yang lezat hendak masuk mulutnya, tiba-tiba ayam itu berubah jadi emas pula....ia mengalami kesulitan untuk makan dan minum. Saat putri tunggalnya masuk, ia senang sekali dan tanpa pikir panjang ia peluk putrinya....dan putrinya berubah menjadi patung emas. Akhir yang tragis bagi seorang raja yang serakah.
Kita tidak memiliki The Midas touch tetapi Jesus Touch (Sentuhan Yesus), saat kita sebagai gereja Tuhan sungguh-sungguh menjadikan Dia sebagai Tuhan dan Raja atas hidup kita maka Jesus Touch ada dalam diri kita. Kita tidak sembarangan lagi dalam setiap tindak tanduk kehidupan kita. Orang dapat melihat Yesus dalam diri kita, melalui karakter, perkataan dan kuasaNya dalam diri kita.
Sebagaimana pesan Rasul Paulus bagi Timotius,” Jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.”(1 Timotius 4:12)
Dunia akan terguncang oleh gereja saat Yesus menjadi Tuhan dan Raja atas hidup kita, dimana kita menjadi terang dan garam dunia.
Matius 5:13-16, “Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”


(Bab 1 dari buku “Apaan sih gereja?” - Dave Broos)

Senin, 03 November 2008

THE QUESTION THAT CHANGED MY LIFE


The Question that Changed My Life
by Dr. David Ryser drdave1545@yahoo.com

A number of years ago, I had the privilege of teaching at a school of ministry. My students were hungry for God, and I was constantly searching for ways to challenge them to fall more in love with Jesus and to become voices for revival in the Church. I came across a quote attributed most often to Rev. Sam Pascoe. It is a short version of the history of Christianity, and it goes like this: Christianity started in Palestine as a fellowship; it moved to Greece and became a philosophy; it moved to Italy and became an institution; it moved to Europe and became a culture; it came to America and became an enterprise.
Some of the students were only 18 or 19 years old--barely out of diapers--and I wanted them to understand and appreciate the import of the last line, so I clarified it by adding, "An enterprise. That's a business." After a few moments Martha, the youngest student in the class, raised her hand. I could not imagine what her question might be. I thought the little vignette was self-explanatory, and that I had performed it brilliantly. Nevertheless, I acknowledged Martha's raised hand, "Yes, Martha." She asked such a simple question, "A business? But isn't it supposed to be a body?" I could not envision where this line of questioning was going, and the only response I could think of was, "Yes." She continued, "But when a body becomes a business, isn't that a prostitute?"

The room went dead silent. For several seconds no one moved or spoke. We were stunned, afraid to make a sound because the presence of God had flooded into the room, and we knew we were on holy ground. All I could think in those sacred moments was, "Wow, I wish I'd thought of that." I didn't dare express that thought aloud. God had taken over the class.

Martha's question changed my life. For six months, I thought about her question at least once every day. "When a body becomes a business, isn't that a prostitute?" There is only one answer to her question. The answer is "Yes." The American Church, tragically, is heavily populated by people who do not love God. How can we love Him? We don't even know Him; and I mean really know Him.

What do I mean when I say "really know Him?" Our understanding of knowing and knowledge stems from our western culture (which is based in ancient Greek philosophical thought). We believe we have knowledge (and, by extension, wisdom) when we have collected information. A collection of information is not the same thing as knowledge, especially in the culture of the Bible (which is an eastern, non-Greek, culture). In the eastern culture, all knowledge is experiential. In western/Greek culture, we argue from premise to conclusion without regard for experience--or so we think. An example might be helpful here.
Let us suppose a question based upon the following two premises: First, that wheat does not grow in a cold climate and second, that England has a cold climate. The question: Does wheat grow in England? The vast majority of people from the western/Greek culture would answer, "No. If wheat does not grow in a cold climate and if England has a cold climate, then it follows that wheat does not grow in England." In the eastern culture, the answer to the same question, based on the same premises, most likely would be, "I don't know. I've never been to England." We laugh at this thinking, but when I posed the same question to my friends from England, their answer was, "Yes, of course wheat grows in England. We're from there, and we know wheat grows there." They overcame their cultural way of thinking because of their life experience. Experience trumps information when it comes to knowledge.

A similar problem exists with our concept of belief. We say we believe something (or someone) apart from personal experience. This definition of belief is not extended to our stockbroker, however. Again, allow me to explain. Suppose my stockbroker phones me and says, "I have a hot tip on a stock that is going to triple in price within the next week. I want your permission to transfer $10,000 from your cash account and buy this stock." That's a lot of money for me, so I ask, "Do you really believe this stock will triple in price, and so quickly?" He/she answers, I sure do." I say, "That sounds great! How exciting! So how much of your own money have you invested in this stock?" He/she answers, "None." Does my stockbroker believe? Truly believe? I don't think so, and suddenly I don't believe, either. How can we be so discerning in the things of this world, especially when they involve money, and so indiscriminate when it comes to spiritual things? The fact is, we do not know or believe apart from experience. The Bible was written to people who would not understand the concepts of knowledge, belief, and faith apart from experience. I suspect God thinks this way also.

So I stand by my statement that most American Christians do not know God--much less love Him. The root of this condition originates in how we came to God. Most of us came to Him because of what we were told He would do for us. We were promised that He would bless us in life and take us to heaven after death. We married Him for His money, and we don't care if He lives or dies as long as we can get His stuff. We have made the Kingdom of God into a business, merchandising His anointing. This should not be. We are commanded to love God, and are called to be the Bride of Christ--that's pretty intimate stuff. We are supposed to be His lovers. How can we love someone we don't even know? And even if we do know someone, is that a guarantee that we truly love them? Are we lovers or prostitutes?

I was pondering Martha's question again one day, and considered the question, "What's the difference between a lover and a prostitute?" I realized that both do many of the same things, but a lover does what she does because she loves. A prostitute pretends to love, but only as long as you pay. Then I asked the question, "What would happen if God stopped paying me?"

For the next several months, I allowed God to search me to uncover my motives for loving and serving Him. Was I really a true lover of God? What would happen if He stopped blessing me? What if He never did another thing for me? Would I still love Him? Please understand, I believe in the promises and blessings of God. The issue here is not whether God blesses His children; the issue is the condition of my heart. Why do I serve Him? Are His blessings in my life the gifts of a loving Father, or are they a wage that I have earned or a bribe/payment to love Him? Do I love God without any conditions? It took several months to work through these questions. Even now I wonder if my desire to love God is always matched by my attitude and behavior. I still catch myself being disappointed with God and angry that He has not met some perceived need in my life. I suspect this is something which is never fully resolved, but I want more than anything else to be a true lover of God.

So what is it going to be? Which are we, lover or prostitute? There are no prostitutes in heaven, or in the Kingdom of God for that matter, but there are plenty of former prostitutes in both places. Take it from a recovering prostitute when I say there is no substitute for unconditional, intimate relationship with God. And I mean there is no palatable substitute available to us (take another look at Matthew 7:21-23 sometime). We must choose.