Selasa, 26 Mei 2009

A word from Francois Fenelon

So long as we are full of self, we are shocked at the faults of others. Let us think often of our own sin, and we shall be lenient to the sins of others."
~François Fénelon (1651-1715)~

Rabu, 20 Mei 2009

MENGAPA HARUS AKU YA TUHAN?

MENGAPA HARUS AKU YA TUHAN?

Kota Lawang-Malang terkenal akan keasrian dan udaranya yang sejuk. Ada perkebunan teh yang menjadi obyek wisata dan sering dikunjungi oleh wisatawan lokal. Di sana juga banyak terdapat Sekolah Alkitab salah satunya bernama Discipleship Training School (DTS) di bawah naungan lembaga missi international, Youth With A Mission (YWAM), yang didirikan oleh Loren Cunningham dan berpusat di Kona - Hawaii, Amerika Serikat. Dalam sekolah ini setiap murid akan diberikan pengajaran dasar kekristenan hingga mereka dapat mengenal Allah dan juga memperkenalkan Allah pada mereka yang terhilang. Sesuai motto YWAM,”To know Him and to make Him known” (Untuk mengenal Allah dan memperkenalkanNya).

Saat itu aku adalah staff DTS pada tahun ajaran baru tersebut, merupakan hal yang paling menyenangkan bagiku menyambut siswa-siswa baru yang berdatangan dari berbagai belahan penjuru tanah air dan juga berbagai macam latar belakang hidup mereka. Dari belasan siswa yang datang mataku tertuju pada salah satu siswi, yang sejak kedatangannya selalu menghindar dari staf maupun teman-temannya sendiri. Ia selalu mengenakan jaket dan menutupi wajahnya dengan rambutnya yang panjang. Sungguh sangat misterius siswi ini nampaknya. Ia lebih suka mengurung diri di dalam kamar siswi. Aku mendengar dari rekan staf putri bahwa siswi tersebut pernah mengalami luka bakar yang parah pada wajah dan bagian tubuhnya. “Wauw…ini merupakan pengalaman pertamaku menolong siswa yang mengalami kasus seperti ini. Biasanya dalam tiap angkatan kami paling sering menghadapi kasus anak terlibat narkoba, stress, nakal, kriminalitas, dan yang sejenisnya….kasus anak yang mengalami trauma akibat luka bakar yang parah, ini akan menjadi pengalaman baru.

Pada minggu pertama pelajaran dan pengenalan antara siswa dan staf, berjalan dengan baik. Pada malam hari, kami mengadakan acara keterbukaan (openness), dimana kami saling membagikan pengalaman hidup sebelum mengenal Tuhan dan bagaimana Ia menolong kami datang padaNya. Setelah para staf membagikan kesaksian hidup kami, para siswa akhirnya mulai membuka suara dan membagikan pengalaman hidup mereka.
Setelah hampir semua siswa membagikan cerita hidup mereka, semua mata tertuju pada gadis yang mengalami luka bakar itu.

Nama saya,”Asih”….aslinya dari Banyuwangi, namun beberapa tahun lalu ayah saya ikut program transmigrasi ke Sulawesi Tengah.” Dengan pandangan mata yang masih tertuju ke bawah meja dan tak berani menatap ke arah kami. Kami dua bersaudara dan saya anak paling besar, keluarga saya adalah keluarga yang bahagia. Lalu ia terdiam sejenak, sebelum meneruskan pembicaraannya. “Malam itu saya sedang belajar dan mengerjkan PR, di daerah transmigrasi kami saat itu belum ada aliran listrik hingga harus menggunakan lampu minyak. Saat itu saya sedang duduk dan belajar di lantai, sampai aku dengar suara adikku yang masih kecil dari atas meja makan dimana lampu minyak berada. Saat itulah entah bagaimana, lampu minyak itu terjatuh ke atas tubuhku dan….BLUPH….. lalu api dengan cepat melalap dada dan wajah saya. Saya berteriak kesakitan dan adik menangis sejadi-jadinya. Terdengar langkah kaki ayah dan ibu berlari dan coba memadamkan api pada wajah dan tubuh saya….rasanya waktu berjalan dengan sangat lambat. Apakah saya akan mati??

Saat api dapat dipadamkan mereka segera melarikan saya ke puskesmas, sayangnya tidak ada dokter jaga. Hanya ada seorang mantri yang tak dapat berbuat banyak dan hanya memberikan pertolongan pertama semampunya. Rasa luka bakar sangat menyakitkan sepanjang malam…saya bertanya dalam hati mengapa tidak mati saja sekalian? Oh, sakit sekali, Allah. Keesokan harinya barulah dokter datang memeriksa dan memberikan obat, dan merujuk agar saya berobat ke rumah sakit pemerintah. Sesampainya kami di rumah sakit itu,nampak ayah masuk ke UGD dengan lesu. Ayah yang biasanya tegar, kini menangis tersedu di samping saya…”Nduk, maaf ya nak, Bapak tidak ada uang untuk biaya merawatmu di sini. Kini kita harus pulang.” Perasaan dalam hati saya bercampur aduk…..satu sisi kasihan melihat bapak ingin saya sembuh tapi tidak ada biaya…sisi yang lain, saya juga sedih bagaimana dengan masa depan saya sebagai orang cacat? Ada rasa sedih…rasa marah….kesal….marah….ya, Allah, mengapa Kau izinkan hal ini terjadi pada diriku..apa salahku?? MENGAPA HARUS AKU YANG ALAMI INI?
Pengobatan alternatif menjadi jalan keluar untuk mengobati diri saya, sebab biayanya tidak terlalu mahal dan masih terjangkau oleh bapak. Namun luka bakar itu bukannya membaik malah berair dan bertambah parah. Hingga akhirnya bapak menghentikan pengobatan alternatif itu. Bapak juga telah meminta ulama setempat untuk berdoa tetapi juga tak ada hasilnya dan beliau menjadi frustasi….bapak jadi mudah marah dan sering pergi dari rumah entah kemana.

Suatu hari datanglah tetangga kami yang Nasrani membawa pendeta-nya. “Assalamualakum” terdengar suara permisi dari luar. “Walaikum salam”, sahut ayah. Untuk beberapa saat mereka berbincang, lalu tetangga kami itu bertanya “Bagaimana kabar Asih, Pak?” Terdengar helaan nafas yang dalam sebelum ayah menjawab,”Tambah buruk…saya sudah gak ngerti harus bagaimana lagi.” Saya lihat tetangga kami itu,merangkul bapak dan turut prihatin. Lalu ia berbicara pada bapak,” Pak, kebetulan pendeta saya berkunjung ke rumah, dan saya ajak kemari untuk berdoa bagi Asih. Boleh tidak, Pak?” Dengan mantap bapak menjawab,”Boleh, tentu saja, yang penting Asih bisa sembuh.” Pak Pendeta itu, datang dan berbicara bahwa Tuhan Yesus sanggup menyembuhkan, ya saya pernah mendengar tentang Nabi Isa yang dapat melakukan penyembuhan. Pak Pendeta berkata bila saya percaya padaNya maka saya akan disembuhkan. Lalu ia berdoa bagi saya,” Tuhan, Engkau yang menyatakan bahwa tanda-tanda ini akan menyertai orang percaya, mereka akan menumpangkan tangan atas orang sakit dan mereka akan sembuh. Dalam Nama Tuhan Yesus, saat kutumpangkan tanganku atas Asih biarlah kuasa darahMu menyembuhkannya. Amien. Setelah mereka berdoa, mereka akhirnya berpamitan pulang. Tidak terjadi apapun setelah itu.

Seminggu kemudian setelah doa tersebut, luka bakar saya mulai mengering. Kami sangat senang luka bakar ini mengering sebab kini saya bisa beraktivitas lagi, membantu ayah dan ibu di sawah, bersekolah dan bermain bersama teman-teman lagi…wah, asyiknya…kembali seperti sedia kala.
Kegembiraan saya hanya sesaat, saat saya pergi ke sekolah semua orang memandangi saya dengan pandangan yang tajam, di sekolah teman-teman yang dulu akrab kini menjauh…mereka mengejek saya,”Ada setan…ono wewe gombel (ada setan betina)….mereka menjadikan saya bahan tertawaan. Sementara yang lain nampak tengah berbisik-bisik sambil memandangi diri saya. Segera saya berlari meninggalkan sekolah pulang ke rumah. Saya berlari dan berlari sekencang-kencangnya…kenapa saya harus hidup seperti ini? Ya, Allah kalau hambaMu harus hidup seperti ini, kenapa tidak mati saja waktu itu?

Saat itu ibu tengah berada di dapur saat ia mendengar Asih menangis dan masuk ke rumah,”Asih, ono opo (ada apa)?” “Bu, mulai besok, Asih endak mau sekolah lagi.” Semenjak kejadian itu saya tidak mau sekolah atau main di sekitar rumah. Asih, hanya akan pergi ke luar rumah pada waktu anak-anak lain pergi bersekolah dan para tetangga pergi ke sawah mereka selebihnya ia hanya akan mengurung diri.

Sampai suatu hari saat kampung sedang sepi, Asih tengah menyapu pekarangan rumah. Tiba-tiba seseorang menyapanya,”Selamat pagi.” Dalam hati saya bertanya siapakah orang asing ini. “Hai, nama saya Pak Daud.” Sahut orang itu lagi. Saya terheran-heran sebab pandangan mata orang ini berbeda, biasanya orang melihat saya dengan perasaan takut atau jijik tetapi orang ini memandang saya dengan penuh kasih. “Nama saya Asih, Pak.” Setelah beberapa saat kami berbincang, beliau mengatakan bahwa saat pulang ke Jakarta akan menemui seorang dokter bedah kecantikan untuk menolong saya. Lalu beliau meminta izin bertemu dengan ayah, untuk berbincang mengenai penyembuhan saya. Setelah berbincang dengan ayah dan mendapat izin akhirnya beliau memfoto luka bakar yang ada pada wajah dan bagian tubuh saya.

Beberapa bulan berlalu tanpa kabar, sampai suatu hari Pak Daud datang kembali dan mengajak saya pergi ke Jakarta untuk dioperasi. Akhirnya saya pergi bersama beliau ke Jakarta, sebenarnya sedih sekali harus berpisah dari orangtua dan adik tetapi saya juga ingin sembuh seperti dulu. Saya tidak ingin cacat seperti ini terus.
Saya sudah berada di Jakarta beberapa bulan, saya sudah dioperasi tahap pertama. Dimana dagu saya yang lengket dengan dada berhasil dipisahkan hingga sekarang sudah dapat menggerakkan kepala lagi meskipun harus menggunakan penyangga leher beberapa waktu hingga batang leher kuat kembali.

Sambil menunggu operasi tahap kedua, saya ingin mendalami agama Kristen disini. Itulah kesaksian Asih pada kami. Baru kutersadar bahwa suasana begitu hening dan kulihat beberapa temanku terharu, aku juga tidak dapat membayangkan bila hal itu sampai menimpaku. Bagaimana sikapku terhadap Tuhan?
Apa yang dapat kita ambil dari kisah ini? Di balik tiap kejadian yang kita alami Tuhan memiliki tujuan. Mungkin saat ini kita tidak mengerti mengapa hal ini harus terjadi namun Tuhan punya rencana untuk membentuk kita makin serupa denganNYA.

Tahukah saudara apa yang terjadi dengan Asih setelah ia lulus dari Sekolah Pemuridan – Discipleship Training School. Ia memutuskan untuk tidak mengoperasi wajahnya kembali, ia menyerahkan hidupnya untuk pekerjaan Tuhan. Baginya kecantikan bukan lagi pemulihan wajah seperti sedia kala tetapi memiliki hati seperti Kristus. Sukacita yang kini terpancar dalam kehidupannya menjadi inspirasi bagi banyak jiwa.

(Diambil dari buku SAAT TUHAN SULIT DIMENGERTI, oleh Dave Broos)