Selasa, 06 Mei 2008

"LOST GENERATION" ANCAM INDONESIA


‘LOST GENERATION’ ANCAM INDONESIA

Sekitar lima juta bayi usia di bawah lima tahun (balita) yang menderita kurang gizi di
Indonesia berpotensi mengalami lost generation pada lima belas tahun mendatang.

       “Bila masalah kurang gizi di Indonesia tidak segera ditangani secara tepat,”
kata Kepala Subdirektorat Kewaspadaan Gizi Departemen Kesehatan (Depkes)
Tatang S Fallah, Jumat (28/4/2006) di Jakarta.
       Tatang mengatakan, lima juta bayi yang diprediksi potensial mengalami lost
generation itu sebagian besar lahir pada tahun 2000-an. Jumlah balita yang
mengalami kurang gizi itu kini mencapai sekitar 27,5% dari total balita di Indonesia.
       “Yang dimaksud dengan lost generation adalah terjadinya penurunan kualitas
sumber daya manusia (SDM) dalam satu generasi akibat penurunan kualitas fisik
dan kecerdasan atau intelligence quotient (IQ),” jelasnya.
Tatang mengakui, beberapa tahun lalu Indonesia sempat ditegur Badan Kesehatan
Dunia (WHO). Penyebabnya, karena prevalensi atau kejadian kurang gizi per
wilayah di Indonesia tergolong cukup tinggi atau di atas 20%. “WHO juga menilai
pemerintah Indonesia bersikap tenang-tenang saja,” ungkapnya.
       Menurut Tatang, bila lost generation benar-benar terjadi, bisa dipastikan ke
depan, Indonesia akan kalah dalam persaingan global. Penyebabnya karena
kualitas SDM-nya rendah dibandingkan negara-negara lain.
       Pejabat dari Depkes ini menegaskan, pemerintah telah menargetkan
pengurangan jumlah balita penderita gizi buruk dari 8,5% menjadi 5%. Sementara
itu, pengurangan jumlah balita kurang gizi dari 27,5% menjadi 20% yang akan
dicapai pada tahun 2009.
       “Walau dirasa rendah, target ini saja sudah cukup sulit. Per tahun saja, kita
hanya sanggup menurunkan gizi buruk 0,5%,” ungkapnya.

Daerah lapor
       Tatang mengharapkan, pemerintah daerah (pemda) segera melaporkan setiap
temuan kasus gizi buruk ke pusat. Kasus gizi buruk jangan ditutup-tutupi. Pasalnya,
masih banyak pemda yang kerap menyembunyikan kasus gizi buruk yang ada di
daerahnya. “Padahal, pemda yang menutupi kasus gizi buruk sebenarnya telah
melanggar Undang-Undang tentang Penyebaran Wabah.”
       Menurut Tatang, bila ditemukan 25 kasus gizi buruk di suatu wilayah, daerah
bersangkutan harus mengeluarkan status kejadian luar biasa (KLB). Tujuannya agar
penanganannya bisa dilakukan maksimal. Sedangkan bagi dokter yang menemukan
kasus gizi buruk, ia wajib melapor ke pemda hingga ke pemerintah pusat.
       Sementara itu, menurut antropolog dari Departemen Antropologi Universitas
Indonesia Achmad Fedyani Saifudin, masalah gizi buruk di Indonesia tidak hanya
disebabkan kemiskinan semata, tetapi juga disebabkan aspek sosial dan budaya.
       “Karena ada orang tua yang lebih mementingkan membeli rokok daripada
makan anaknya,” kata Saifudin.
       Ia mencontohkan, kasus gizi buruk dialami 80% balita di Gianyar, Bali.
Ternyata, balita yang mengalami gizi buruk itu bukan berasal dari keluarga yang
miskin.
       Menurut Saifudin, untuk mengatasi masalah kurang gizi dan gizi buruk,
diperlukan pula sebuah pendekatan antropologi. Penanganannya harus pula
disesuaikan dengan kultur, kepercayaan dari daerah masing-masing. “Karena itu, di
negara lain pun telah diterapkan ilmu antropologi nutrisi guna menangani masalah
gizi.”
       Antropologi nutrisi diperlukan karena antropologi nutrisi penyelesaian masalah
gizi mencakup pola makan yang menjadi identitas etnik, kepercayaan, dan ideologi.
Selain itu, antropologi nutrisi itu juga mempelajari perubahan budaya dan
pemahaman masyarakat. Sebaliknya, kata Saifudin, ahli gizi cenderung melihat
makanan hanya sebagai sumber energi dan protein. “Diharapkan dengan
pendekatan budaya, pesan gizi pada masyarakat akan lebih masuk,” ujarnya.


Dan Raja itu akan berkata kepada mereka yang di sebelah kanan-Nya: Mari, hai
kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan
bagimu sejak dunia dijadikan.
Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu
memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku
tumpangan;
ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu
melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.
Maka orang-orang benar itu akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah
kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan
kami memberi Engkau minum?
Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi
Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian?
Bilamanakah kami melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami
mengunjungi Engkau?
Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya
segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang
paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.
Maka Ia akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala
sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina
ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.

Matius 25:34-40, 45

Dimana kau Gereja ? .............

Tidak ada komentar: