PERJALANAN MELALUI PENDERITAAN
Penderitaan adalah bagian dari
menjadi manusia. Hal itu tidak terelakkan. Tergantung pada derajat
penderitaan yang dialami, seluruh hidup kita dapat dipengaruhi olehnya.
Penderitaan dapat menggerogoti pikiran kita, memengaruhi hubungan kita
-- bahkan hubungan kita dengan Allah -- dan tidak ada bagian dari
kehidupan kita yang tidak tersentuh. Melihat seseorang menderita juga
merupakan hal yang sulit. Sebagai konselor, saya ingin meringankan rasa
sakit emosional dengan cepat; namun, bantuan yang cepat mungkin bukan
cara penyembuhan yang terbaik.
Hanya Pandangan Dunia
Mereka
yang memiliki hubungan dengan Kristus biasanya berpaling kepada-Nya
selama masa kesusahan. Ketika penderitaan terus ada dan pertolongan
tidak juga terlihat, penderitaan dapat menjadi hal yang membingungkan.
Asumsi umum di antara orang-orang percaya adalah bahwa peristiwa
menyakitkan dan traumatis tidak terjadi pada orang benar. Keyakinan ini,
yang dikenal sebagai Pandangan Keadilan Dunia, mengacu pada pemahaman
yang diyakini orang-orang bahwa dunia adalah tempat yang adil
(Fetchenhauer et. Al., 2005). Idenya memungkinkan orang untuk melihat
Allah sebagai Pribadi yang dapat diprediksi. Selanjutnya, anggota gereja
sering menafsirkan peristiwa dengan cara yang mendukung keyakinan bahwa
orang yang menderita memiliki sesuatu untuk dipelajari atau bahwa
keberadaan iman yang lebih akan meringankan penderitaan. Ayat-ayat
seperti Yohanes 10:10 sering dikutip untuk mendukung gagasan bahwa Tuhan
melindungi orang-orang yang beriman dan menjauhkan perlindungan-Nya
dari mereka yang tidak (beriman).
Kehidupan yang berlimpah,
bagaimanapun, tidak menjanjikan hidup tanpa kesedihan atau kesulitan.
Rasul Petrus menulis, "sekalipun sekarang ini kamu seketika harus
berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan" (1 Petrus 1:6). Petrus dengan
jelas menyatakan bahwa orang Kristen tidak terbebas dari rasa sakit dan
penderitaan. Menariknya, kata penderitaan menunjukkan bahwa pengalaman
ini merupakan bagian yang diharapkan dari kehidupan, sedangkan pencobaan
tidak, karena perjuangan internal hanya berasal dari kejahatan yang
ditemukan di dunia ini (Schreiner, 2003).
Penderitaan sebagai Evaluasi dari Kesedihan
Dalam
merenungkan penyebab penderitaan, Knabb dan rekan-rekannya (2010)
mengandaikan bahwa itu adalah hasil dari evaluasi pengalaman yang
menyakitkan. Kesedihan dan penderitaan tidaklah identik. Melainkan,
penderitaan adalah pengalaman dari proses evaluasi. Namun, memeriksa
pengalaman yang menyakitkan, berpotensi untuk menghasilkan rasa
kesedihan yang mungkin benar-benar akan menambah dan memperpanjang
penderitaan. Pekerjaan evaluasi menuntut sebuah pemahaman yang
memungkinkan pengalaman untuk diberi label dan diperiksa -- tugas utama
untuk proses konseling.
Dietrich Bonhoeffer, seorang teolog
Jerman di awal hingga pertengahan 1900-an, mendukung gagasan penderitaan
sebagai proses evaluatif (Knabb et. Al, 2010). Bagi Bonhoeffer, rasa
sakit adalah bagian normal dari hidup di dunia yang jatuh dalam dosa dan
penderitaan menawarkan kemungkinan yang mengarahkan seseorang menuju
kepada pemahaman yang lebih dalam mengenai karakter Allah, dan dengan
demikian hubungan yang lebih intim dengan-Nya. Oleh karena itu,
penderitaan tidak harus dihindari atau buru-buru dihilangkan (Latini,
2009).
Penderitaan sebagai Kedukaan Rohani
Bagi Snyder
(2008), penderitaan dapat dilihat sebagai kedukaan rohani. Selama masa
penderitaan, kita sering dipaksa untuk bergumul dengan pemahaman kita
tentang Allah. Pertanyaan seperti, "Di mana Allah dahulu?" dan "Di mana
Allah sekarang?" biasanya diajukan. Orang yang menderita sering
mengalami perasaan ditinggalkan secara rohani. Masalahnya lebih daripada
sakit yang intens; hal itu merupakan salah satu dari perasaan
kehilangan, termasuk kehilangan seseorang yang dicintai serta Allah yang
adil, dan karenanya menjadi sebuah seruan kerinduan akan Tuhan.
Penderitaan, kemudian, adalah perasaan kuat ditinggalkan oleh Tuhan
"yang tampaknya tertidur di perahu dan perlu dibangunkan untuk
bertindak" (Markus 4:35-41) (Snyder, 2008, hal. 71). Mudah-mudahan, yang
terjadi sesudahnya adalah sebuah percakapan yang jujur dengan Allah
yang melibatkan pertanyaan mendalam dan ekspresi emosi yang intens.
Kedukaan
rohani, karena itu, merupakan sebuah perjalanan dan proses penyembuhan
rohani. Memutuskan untuk percaya pada kebaikan Tuhan, bahkan saat
bergumul, akhirnya akan mengarah pada pujian kepada-Nya. Secara
kognitif, kita dapat menyadari bahwa proses ini merupakan bagian dari
pertumbuhan rohani, tetapi di saat kita sangat membutuhkan, kita mungkin
mengalami kecemasan yang intens ketika kita tidak dapat menemukan
keintiman dengan Tuhan.
Allah sebagai Teman yang Sama-Sama Menderita
Moltmann,
mantan Nazi yang menjadi Kristen di sebuah kamp penjara Skotlandia,
mendapati bahwa pertanyaan mengenai Allah yang penuh kasih yang
mengizinkan penderitaan adalah kebingungan yang mengganggu gereja
Kristen. Dalam mengatasi kesulitan ini, ia menegaskan bahwa Alkitab
menunjukkan Allah yang sangat dipengaruhi oleh rasa sakit kita (Monroe
& Schwab, 2009). Benar, banyak ayat di seluruh Alkitab memberikan
pemahaman yang jelas bahwa Allah penuh kasih terhadap orang yang
menderita. Peristiwa Yesus menangis atas kematian Lazarus adalah contoh
utama bahwa Allah berduka bersama dengan kita (Yoh. 11:35).
Dalam
mempelajari Filipi 3, Hoffman (2010) mencatat bahwa pengakuan akan
penderitaan Allah sendiri adalah sangat penting. Pada intinya,
penderitaan merupakan "Anak yang kehilangan Bapa-Nya demi kita, dan Bapa
yang kehilangan Anak-Nya yang tunggal demi kita, adalah Allah yang sama
yang sekarang berempati dengan menangis untuk anak-anak-Nya yang tengah
menderita di bumi" (Hoffman, 2010, p. 131). Meskipun gagasan bahwa
Tuhan menderita bersama-sama dengan kita mungkin merupakan hal yang baru
bagi konseli, pengetahuan akan hal ini akan membantu mengembangkan
hubungan yang lebih intim dengan Tuhan.
Menyesuaikan Asumsi Inti
Kadang-kadang,
mereka yang mencari nasihat adalah mereka yang sedang berduka atas
Allah mereka yang hilang. Meskipun perasaan ditinggalkan itu begitu
nyata, Allah sebenarnya tidak hilang. Klien hanya memiliki konsep
tentang Allah yang tidak tepat. Proses penderitaan menciptakan situasi
yang memungkinkan individu untuk mengenal Allah lebih intim dan untuk
memperbaiki asumsi yang salah tentang sifat-Nya.
Bagi Snyder
(2008), "Menemui Allah dapat diselimuti dalam kesedihan, tetapi hal itu
menjadi transformatif ketika kotak menyesakkan yang telah menutup Allah
dan diri kita yang paling jujur akan pecah seperti buli-buli pualam
Maria ... Iman tidak lagi berakar dalam doa yang dijawab, dan
kebahagiaan tidak tergantung pada keadaan" (hal. 75). Oleh karena itu,
seseorang tidak harus menginginkan atau berharap akan luput dari
mengalami penderitaan (Hoffman, 2010). Meskipun orang yang menderita
mungkin memohon "Bapa, jika mungkin, biarlah cawan ini berlalu," peran
kita sebagai konselor Kristen adalah untuk membantu klien bertahan dalam
prosesnya (Lukas 22:42).
Kesimpulan
Setelah kematian
istrinya, C.S. Lewis menulis, "Kesedihan, bagaimanapun, ternyata bukan
sebuah keadaan, tetapi sebuah proses" (Lewis, 1961, hal. 66). Bagi Floyd
(2008), konselor yang memahami bahwa kesedihan adalah bagian penting
dari kehidupan akan lebih mampu menasihati orang-orang yang menderita.
Ketika kita memberikan "penghiburan dan dukungan di tengah-tengah masa
sulit ... kita benar-benar ikut 'berkabung dengan orang yang
berdukacita' dan menjalankan fungsi yang sangat penting dalam tubuh
Kristus" (hal. 95). Oleh karena itu, dibandingkan melihat penderitaan
sebagai sesuatu yang harus cepat-cepat diperbaiki, kita dapat
berpartisipasi dalam proses penyembuhan yang kudus saat orang yang
menderita menjadi lebih intim mengenal Allah. (t/Jing-Jing)
Diterjemahkan dari:
Nama situs: Society for Christian Psychology
Alamat URL: http://www.christianpsych.org/wp_scp/a-journey-through-suffering/
Judul asli artikel: A Journey Through Suffering
Penulis artikel: Shannon Wolf
Tanggal akses: 19 Oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar