Paradigma Kasih
Mengapa kasih dan mengasihi menjadi dasar bagi semua motif, tujuan, karakter,
pergerakan dan pelayanan? Dasar bagi segala-segalanya? Sehingga mengurangi
kasih dalam semua hal tersebut berarti membuat semuanya itu tidak ada artinya
dan kosong.
Matius 22:36-40 menuliskan: "Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum
Taurat?" Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap
hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah
hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua yang sama
dengan itu ialah: "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua
hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi."
Jelaslah disini keutamaan kasih menjadi tak terbantahkan. Bahkan hukum
kasih telah meringkas dan merangkum seluruh hukum-hukum Allah yang
ada.
Sedangkan dalam I Korintus 13:1-3 Rasul Paulus memberi penguatan dan
penegasan dengan membandingkannya dengan kualitas-kualitas rohani yang
lain : “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan
bahasa malaikat, tapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang
berkumandang dan canang yang gemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia
untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh
pengetahuan tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna.
Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku bahkan
menyerahkan tubuhku untuk dibakar tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit
pun tidak ada faedahnya bagiku.”
Nah, bahkan menurut ayat tersebut radikalitas, kuasa, dan kemampuan
apapun dikurangi kasih menjadi nihil!
Dorongan untuk hidup dalam kasih yang menggelora kepada Allah menjadi
semakin menguat lagi dengan menelaah teguran keras Firman Tuhan dalam
Wahyu 2:2-5: “Aku tahu segala pekerjaanmu: baik jerih payahmu maupun
ketekunanmu. Aku tahu, bahwa engkau tidak dapat sabar terhadap orang-orang
jahat, bahwa engkau telah mencobai mereka yang menyebut dirinya rasul tetapi
yang sebenarnya tidak demikian, bahwa engkau telah mendapati mereka pendusta.
Dan engkau tetap sabar dan menderita oleh karena namaKu dan engkau tidak
mengenal lelah, namun demikian Aku mencela engkau karena engkau telah
meninggalkan kasihmu yang semula. Sebab itu ingatlah betapa dalamnya
engkau telah jatuh! Bertobatlah dan lakukanlah lagi apa yang semula engkau
lakukan.”
Ketiadaan kasih bahkan dianggap kejatuhan rohani !
Meskipun disebutkan dengan sedemikian jelas bahwa kasih merupakan parameter
seluruh segi-segi kehidupan dan kerohanian tetapi mengapa dorongan untuk
mengasihi menjadi begitu lemah? Mengapa sulit, bahkan gagal, mengasihi? Alkitab
menuliskan di dalam Roma 12:2 ... "berubahlah kamu oleh pembaharuan
budimu…”. yang berarti persoalan kita yang sebenarnya untuk berubah dari
kebencian kepada mengasihi adalah pikiran kita. Perubahan dimulai dari akal
budi! Sudut pandang atau paradigma kita tentang kasih dan mengasihi perlu
dievaluasi dan mengalami “Truth encounter”(perjumpaan dengan kebenaran).
Ada 3 paradigma atau kebenaran tentang kasih terhadap yang lain :
1. Melepaskan Kasih.
Seperti kebodohan seseorang yang bersusah payah membuat api dengan cara
memakai kayu ala jaman batu padahal dia punya banyak sekali korek api
dikantongnya, seironis itu jugalah kebanyakan dari kita yang sebenarnya memiliki
kasih hanya saja tidak tahu bahwa kita telah memilikinya. Dengan susah payah
kita perjuangkan sesuatu yang sebenarnya telah kita miliki seperti seakan-akan hal
tersebut belum kita miliki. Sebenarnya kita sanggup mengasihi tapi sudut pandang
yang salah tentang kasih membuat kasih tidak teraktivasi. Roma 5:5 mengatakan :”
… kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah
dikaruniakan kepada kita.” .(bhs Inggris= pour-out). Dalam teks yang lain
disebutkan “dicurahkan sampai habis.” Tak peduli bagaimana perasaan kita
kepada orang yang melukai kita maka kasih sudah ada dalam hati kita. Kasih
bukan diminta tapi tinggal disalurkan. Kita tidak mempunyainya tapi Yesus di dalam
kita mempunyainya (“… oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.”),
dan agape tidak pernah gagal. Makin dahsyat masalahnya maka makin banyak
"liter" kasih yang kita harus salurkan (misal: untuk masalah berat alirkan “10 liter
kasih” dari dalam hati kita tetapi untuk masalah sepele lepaskan dan alirkan dari
dalam kita “1 liter kasih”). Seperti listrik maka akan mengalir kalau saklarnya ditekan
dan dalam hal ini saklar tersebut adalah keputusan kita! Sekali lagi, kenapa listrik
tidak mengalir untuk menyalakan sang lampu bukannya kabelnya tidak “ditinggali”
listrik melainkan saklarnya belum ditekan. Jadi putuskan untuk mengalirkannya
sekalipun perasaan berkata lain. Tetapkan “iman untuk mengasihi” yang seringkali
bertentangan dengan perasaan kita maka perasaan akan mengikuti keputusan.
Kasih adalah keputusan bukan perasaan. Perasaan tidak stabil yang juga membuat
kasih kita tidak stabil jika didasarkan pada apa yang kita rasa. Di Alkitab kasih itu
bentuknya selalu perintah maka berarti bisa dilakukan dan harus harus
dilakukan! Perasaan pasti tidak mampu karena sedang terluka tetapi keputusan
dalam kekuatan kasih karunia Allah selalu membuat kita menjadi lebih dari
pemenang.
Ada tiga hal yang memang patut dipertimbangkan sebagai “sumbat” kasih (I
Timotius 1:15) yang seringkali membuat aliran kasih sulit dilepaskan/dialirkan yaitu:
a) Tidak adanya hati yang suci (hati yang pahit).
Kepahitan adalah ketidakmampuan untuk mengampuni. Kepahitan adalah dosa
karena Firman Tuhan berkata: “... jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu
juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.” (Matius 6:15). Dan celakanya
kepahitan merupakan dosa yang paling tidak disadari oleh pelakunya karena orang
yang pahit (marah, kecewa, jengkel, dan sebagainya) biasanya merasa benar.
Kepahitan dan orang yang pahit adalah dosa. Kita perlu menyucikan hati kita. Buat
keputusan segera untuk melepaskan kasih!
b) Hati nurani yang tidak murni.
Semua dosa yang kita perbuat terhadap sesama harus kita pertanggungjawabkan
demi kemurnian nurani kita agar tidak “disiksa algojo” (sampai kita “melunaskan
seluruh hutang” kita). Bacalah kisah tentang pengampunan dalam Matius 18:21-35.
Ini bicara tentang restitusi dimana pemberesan tuntas akan membuat hati kita siap
melepaskan kasih setelah menjadi murni. (seringkali tidak cukup dengan meminta
maaf saja tetapi “mengganti” penuh kesalahan yang telah dibuat).
c) Ketiadaan iman.
Iman seringkali berlawanan dengan perasaan maka sikap kita terhadap perasaan
yang menghalangi keputusan kita untuk melepaskan kasih sudah jelas: hiraukan!
Dan tetap pada keputusan mengasihi.
2. Menyerahkan Kuasa.
Mengasihi seperti Yesus membutuhkan penyerahan kuasa sebab kasih dan kuasa
tidak dapat diekspresikan secara serempak. Allah Maha Kuasa telah
mendemonstrasikan kuasa-Nya dengan menciptakan jagad raya, penghancuran
kekuatan musuh-musuh-Nya, dan membelah laut merah pada masa lampau. Tetapi
2000 tahun yang lalu, ketika Dia ingin mendemonstrasikan kasih-Nya, Dia
menyerahkan kuasa-Nya. Yesus mengesampingkan kemuliaan yang akan
mempesona dan menyilaukan manusia, merendahkan diri dan datang kepada kita
dalam kemanusiaan. (Filipi 2:5-8). Dia sangat merendahkan diri-Nya, menderita dan
mati di kayu salib. Orang-orang mengejek dan meludahi Dia. Mereka berteriak
kepada Yesus supaya mendemonstrasikan kuasa-Nya untuk menyelamatkan diri-
Nya sendiri tetapi Dia menolaknya. Dia menolak sebab salib bukan tempat untuk
kuasa, itu tempat untuk mendemonstrasikan kasih-Nya. Tidak dapat serempak. Bagi
dunia Yesus terlihat bodoh. Mereka percaya hanya kuasa yang dapat membawa
perubahan sejati. Mereka berpikir tidak punya kuasa berarti tidak ada apa-apanya.
Padahal love is never fail. Kita bahkan berubah karena kasih-Nya yang menjadi
alasan pertama-tama! Penderitaan dan pengorbanannya bagi dunia terhilang telah
memukau banyak orang untuk akhirnya menyerah dalam pelukan-Nya . Untuk
mengasihi seperti Yesus berarti menyerahkan kuasa. Itu bisa berkaitan dengan
reputasi, kendali, kedudukan, status, atau kekuatan yang dikosongkan! Semakin
kita menyerahkan kuasa maka semakin kita sanggup mengasihi meskipun berarti
juga lebih mudah diserang. Semakin rendah hati maka semakin sanggup
mengasihi. Orang sombong tidak akan pernah bisa mengasihi. Yesus bertanya:
Siapa yang akan menjadi hamba? Pada saat berjalan ke Kapernaum, murid-murid
mempertengkarkan tentang siapa yang terbesar diantara mereka.Yesus berkata
kepada mereka: "Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia
menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya." (Markus 9:35).
Mengasihi seperti Yesus memerlukan penyerahan kuasa dan mau melayani seperti
yang Yesus sudah lakukan. Ibu Theresa tahu kebenaran ini dan mencontoh gaya
hidup Yesus. Dia mengosongkan dirinya sendiri dari kemakmuran, kekuasaan dan
martabat lalu menjadi hamba bagi masyarakat miskin di India. Dia memberikan
dirinya sendiri sampai tidak meninggalkan apa-apa lagi untuk diberikan. Orang-
orang diseluruh dunia mendengarkan dia bukan karena dia mengomandoi sebuah
laskar tetapi karena dia berkehendak untuk meneladani Yesus. Bunda Theresa
berkata: "Kasih yang sejati harus menimbulkan rasa yang sakit; dan tanpa berani
menderita, kita hanya akan melakukan pekerjaan sosial saja, bukan tindakan cinta."
(Bidadari dari Kalkuta-by Wahyudin-2004, halaman 169)
3. Prinsip “melakukan seperti untuk Tuhan”.
Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk
Tuhan dan bukan untuk manusia (Kolose 3:23). Jika kita memandang orangnya
pasti kita tidak sanggup untuk mengasihi sehubungan dengan kesalahannya yang
begitu besar dimata kita.Tetapi kekuatan kita untuk mengasihi datang dari Tuhan
yang berfirman: “Perbuatlah seperti untuk Tuhan!” Matius 25:35-46 berkata: ”
Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan, ketika Aku haus, kamu memberi
Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan ; ketika Aku
telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika
Aku didalam penjara, kamu mengunjungi Aku … Aku berkata kepadamu
sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari
saudara-Ku yang hina ini, kamu melakukannya untuk Aku … segala sesuatu
yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak
melakukannya untuk Aku.” Jangan memandang orangnya karena pasti kita akan
gagal dalam mengasihi dan tidak dapat lakukan yang terbaik terhadap orang
tersebut. Tapi coba bertindak seperti sedang memperlakukan Tuhan sendiri maka
pasti sikap kita berubah. Firman Tuhan menegaskan: ”… karena barangsiapa tidak
mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak
dilihatnya (1 Yohanes 4:20) … mengasihi orang lain juga merupakan petunjuk
bahwa kita mengasihi Allah!
- CORNELIUS WING -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar